Kerajaan Larantuka adalah sebuah kerajaan yang berada di Nusa Nipa yang berarti Pulau Naga dalam bahasa lokal, sedangkan dalam bahasa Portugis: Cabo de Flores yang sekarang disebut sebagai Pulau Flores, dan dalam buku Nāgarakṛtāgama dikatakan sebagai Galiyao yang disebut sebagai penghasil kayu cendana. Wilayah kekuasaannya mencapai Adonara, dengan raja pertama bernama Lorenzo I.
Permulaan
Sebelum tahun 1600, pedagang Portugis meninggalkan Solor dan
menetap di Larantuka. Para pedagang terlibat dalam konflik dengan Dominikan di
Solor, karena mereka lebih tertarik dalam perdagangan daripada kristenisasi.
Pada tahun 1613, Solor diduduki Belanda dan Dominikan pindah ke Larantuka juga.
Kemudian Larantuka menjadi stasiun internal untuk perdagangan kayu cendana dari
Timor dan menjadi pusat perdagangan Portugis di wilayah Indonesia bagian
tenggara. Larantuka bahkan menjadi tempat pengungsian bagi desertir dari Dutch
East India Company (VOC).
Ritus
Upacara ritual pengorbanan hewan memiliki posisi yang cukup
penting dan mempengaruhi berbagai struktur dan proses sosial pada bermacam
lapisan sistem politik Flores Timur. Kohesi sosial dan legitimasi status sosial
melalui ritus memiliki peranan khas dalam berbagai organisasi sosial-politik di
Flores Timur (Graham, 1985:141). Selain dalam upacara ritual pembagian kakang,
ritus juga tampak pada upacara penerimaan imigran Kroko Pukeng.
Ritus pengorbanan hewan yang pertama kali
ditetapkan oleh Raja Sira Demong Pagong Molang ini dilaksanakan di setiap
kampung (Lewo) oleh ‘panitia empat’ yang disebut suku raja (suku besar).
(Istilah suku berasal dari kata Melayu. Istilah asli Flores Timur untuk
menyebut suku adalah Ama atau Wung. Organisasi suku dalam kampung tidak sama
tinggi kedudukan dan fungsinya. Pada prinsipnya, nama-nama suku ‘besar’ itu
berkaitan erat dengan fungsi para kepala suku dalam upacara ritual pengorbanan
hewan. Selain itu, mereka juga memangku kekuasaan duniawi ataupun yang
berkaitan dengan dunia ilahi. Keempat suku itu adalah: Ama Koten, Ama Kelen,
Ama Marang, dan Ama Hurint
Dalam ritus pengorbanan hewan, Ama Koten memegang kepala
hewan korban. Dia adalah kepala dari ‘panitia empat’, tuan tanah, dan memegang
kekuasaan dalam kampung. Ama Kelen memegang bagian belakang hewan korban.
Dialah yang bertugas mengurus hubungan dengan kampung-kampung lainnya dan
mengatur masalah perang ataupun damai. Ama Marang bertugas membacakan doa,
menceritakan sejarah asal usul (tutu rnaring usu-asa) untuk mendapat restu (ike
kwaAt) dari kekuatan leluhur. Dialah yang bertugas menjaga tatanan adat dalam
kampung. Ama Hurint bertugas membunuh hewan korban, meneliti urat hati hewan
korban untuk meramal suatu kejadian. Ama Hurint dan Ama Marang juga bertugas
memberi nasihat atau saran bila terdapat perbedaan pendapat antara Ama Koten
dan Ama Kelen, mencari jalan keluar bersama-sama dengan pemuka-pemuka atau
tua-tua yang disebut Kelake.
Legenda
Berdasarkan legenda setempat, leluhur raja Larantuka disebut
berasal dari perkawinan antara seorang tokoh pemersatu dari kerajaan Wehale
Waiwiku dengan seorang tokoh wanita mistik berasal dari gunung Ile Mandiri.
Bunda Maria. Karena terdapat sebuah arca (patung) Tuan Ma yang diyakini sebagai
penjelmaan langsung dari Bunda Maria. Menurut cerita legenda Resiona (seorang
penduduk asli Larantuka) adalah penemu patung Mater Dolorosa atau Bunda Yang
Bersedih yang terdampar di bibir Pantai Larantuka. Konon, tujuan orang Portugis
membawa Resiona ke Malaka adalah untuk belajar agama Katolik.
kerajaan yang dulu pernah jaya di masanya
ReplyDelete