Home » , » PRANATA SOSIAL MASYARAKAT LIO-ENDE

PRANATA SOSIAL MASYARAKAT LIO-ENDE

Dalam Struktur keulayatan masyarakat Lio, ada berbagai macam tata cara seremonial adat yang mana nilai – nilai luhurnya masih dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Semua ini berasal dari warisan para leluhur yang sejak pertama kali telah menanamkan tonggak bersejarah munculnya tradisi-tradisi tersebut. Dalam episode – episode sebelumnya orang Lio telah mengenal macam - macam benda sacral peninggalan leluhur yang melekat bersama masyarakat local yakni;

1. Sa’o Ria Tenda Bewa; Rumah adat yang sudah dilengkapi pranata sosial lainya. Dalam Rumah adat juga dilengkapi tenda atau semacam aula besar tempat untuk pertemuan para tokoh adat untuk melaksanakan seremoni adat sekaligus membicarakan sengketa – sengketa yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat setempat.


2. Wisu Lulu; semacam Altar didalam rumah adat. Sebagai tempat penyimpanan benda - benda peninggalan nenek moyang seperti: Aje Londa (Rantai Emas), Gela mesi/lambo su’a (semacam gelang yang terbuat dari emas), watu wisu lulu (batu yang diambil khusus dari kali melalui upacara adapt saat seorang tokoh adat meninggal. Batu di Wisu Lulu merupakan simbol kehadiran leluhur secara nyata.

3. Pane Ha’i; Semacam cangkir yang berbentuk piala, terbuat dari tanah liat untuk dipergunakan sebagai tempat minum atau tempat makan. Pane Ha’i hanya dapat dipergunakan pada saat seremoni dan ritual adat dilaksanakan.

4. Bendi; Senapan/senjata yang digunahkan untuk melawan tentara belanda pada jaman dulu. Senjata ini diketahui didapati dari tentara belanda dengan cara dirampas. senjata ini juga diyakini mempunyai kekuatan magis.

5. Wea/ngawu; Emas, yang di yakini warisan para leluhur yang didapati pada saat berperang dengan Belanda. Ada pula emas yang di dapati melalui petunjuk/ ilham sehingga emas – emas tersebut di yakini mempunyai daya magis.

6. Bhaku Rate : Tempat bersemayamnya jasad-jasad dalam bentuk tulang belulang yang sengaja disimpan sebagai wujud untuk menghormati jasah – jasah arwa nenek moyang sudah meninggal. Tempat ini juga kerap di gunahkan untuk pertemuan – pertemuan para sesepuh untuk membicarakan batas-batas keulayatan wilayah kedaulatan dan lain – lain.

7. Heda hanga : Sebuah lapangan yang letaknya di halaman rumah adat sebagai tempat untuk melakukan upacara Mbama atau Gawi (tarian adat Lio).

8. Pusu Lema : Secara harfia kalimat ini dapat diterjemahkan artinya; Jantung dan Lida. Akan tetapi kalimat ini sebenarnya muncul dari bahasa adat lio sendiri yang mengandung makna “Ka Pusu, Pesa Lema”. Pusu Lema adalah satu – satunya icon bukti pengakuan eksistensi terhadap kewenangan Mosalaki (ketua adat/kepala suku) setempat. Oleh karena itu, mosalaki sebagai pemangku adat tertinggi dituntut agar lebih arif dan bijaksana terhadap setiap persoalan yang muncul dalam kehidupan sosial masyarakat setempat. Ini membuktikan mosalaki berhak atas pusu lema karena makna histories dari pusu lema tersebut adalah HATI/JANTUNG yang bersih dan LIDA yang lurus karena ini adalah simbol dari pusu lema tersebut. Satu hal yang paling penting untuk kita ketahui bersama adalah bilamana aji ana (kerabat/keluarga mosalaki ditingkat bawah) mempersembahkan pusu lema kepada mosalaki sebagai pemangku adat tertinggi, mosalaki tersebut harus memahami betul untuk apa pusu lema tersebut. Menurut pikiran hemat penulis, setiap pusu lema yang di persembahkan oleh aji ana kepada mosalaki adalah merupakan wujud dari pada penghormatan yang tinggi kepada arwa – arwa nenek moyang selaku penguasa tanah melalui mosalaki. Oleh karena itu,mosalaki harus melakukan ritual khusus sesajen kepada nenek moyang mewakili aji ana yang di kenal dengan sebutan “Sua sasa, Rewu Rera, Pati Ka Ata Mata’. Sehingga dapat menegaskan kepada kita bahwa eksistensi kehadiran mosalaki tersebut adalah “Mosa Tau Ka Fara No’o Tana, Laki tau pesa bela No’o Watu”, yang artinya Mosalaki dapat menyatukan diri seutuhnya dengan alam melalui wisu lulu (semacam Altar didalam rumah adat). Pusu Lema tersebut kita ketahui diambil dari seekor babi yaitu dari bagian ekor sampai ke kepalanya. Babi tersebut sengaja dipotong sedemikian rupa oleh aji ana (kerabat/keluarga mosalaki ditingkat bawah) sesuai dengan tradisi masyarakat setempat. ini dimaksudkan untuk di persembahkan kepada arwa nenek moyang melalui mosalaki sebagai wujud rasa syukur atas sesuatu hal yang sangat bernilai. Misalnya;

- Upacara Koe Kolu/welu watu (peletakan batu) untuk mendirikan rumah tinggal dan lain sebagainya
- Pembukaan ladang baru.
- Pemberian tanah untuk di garap
- Penyelesaian sengketa antar aji ana.
- Wika tei tanah (berhasil merebut tanah dari pihak lawan atas alasan tertentu) dll.
10. Wula Leja : terbuat dari bambu aur yang di pilih khusus sebagai tempat mediasi turunya Du’a gheta Lulu Wula untuk menyatu dengan Ngga’e Ghale Wena Tana. Biasanya Bambu Aur tersebut ditanam di pojok kanan depan rumah adat ( Sa’o Ria Tenda Bewa). Sehingga muncul istilah dalam bahasa Lio yang menyebutkan Du’a eo Nggoro leka Fi’i Jo, Ngga’e eo wa’u leka Mangu Au. Yang berarti Tuhan turun menyatukan diri dengan bumi+ melalui tempat ini. Masyarakat Lio Sangat meyakini, pada saat – saat tertentu Du’a gheta Lulu Wula akan turun ke bumi sehingga dapat melengkapi makna dari du’a Gheta Lulu Wula soli Ngga’e ghale wean Tana yang artinya; Tuhan yang berada ditempat Yang maha tinggi Dan Menguasai Seluruh Isi Bumi.
Sekian

0 komentar:

Post a Comment